Open Column Chromatography

Pada artikel sebelumnya telah disebutkan beberapa tipe open column chromatography, berdasarkan fase diam yang dipakai, yaitu antara lain Silica gel (SiO2), ODS (Octadecylsilane), Sephadex, dan juga ion exchange resin (Diaion). Pada artikel ini, akan lebih fokus menjelaskan mengenai teknik isolasi senyawa tunggal dengan metode kolom, yang meliputi: pembuatan kolom (packing column), persiapan ekstrak sampel, pembuatan pelarut/fase gerak (eluent), aplikasi sampel atau elusi, serta koleksi fraksi-fraksi terelusi. Masing-masing jenis kolom tersebut memiliki teknik yang sedikit berbeda, tapi prinsipnya sama. Nah, sebelum itu akan dijelaskan terlebih dahulu perbedaan prinsip dari masing-masing jenis kolom tersebut.

Silica gel untuk Open Column Chromatography

Kolom silica gel termasuk dalam kromatografi fase normal (normal phase), karena fase diamnya bersifat polar. Sebenarnya fase asli silica tidak bersifat polar, dan berbentuk padat/granul/powder, tetapi ketika diaplikasikan dalam sebuah kolom bersama eluent makan sifatnya berubah menjadi polar, dan berubah menjadi gel (karakteristik silica gel akan dibahas pada artikel terpisah). Untuk fase diam silica gel ini menggunakan eluent berupa larutan dengan berbagai persentase antara chloroform (CHCl3), methanol, dan air, di mana perbandingan antara choloroform dan methanol sebaiknya genap 100 %, dan ekses air 10 %. Sebagai contoh chloroform:methanol:air (C:M:W)= 60:40:10, atau 70:30:10 dan sebagainya. Yang paling berperan di sini adalah choloroform dan methanol, karena keduanya bersifat saling larut (miscible), dengan indeks polaritas yang tidak jauh berbeda. Sedangkan penambahan air selain sedikit mempengaruhi polaritas, juga berfungsi sebagai penutup dari campuran kedua pelarut tersebut, sehingga tidak menguap bebas, sama prinsipnya dengan water closed pada toilet. Pemilihan eluent didasarkan pada tes awal menggunakan TLC (baca di sini).

Sebelum melakukan packing column, solvent (sama dengan eluent, tetapi istilah eluent dipakai jika solvent diaplikasikan pada saat proses elusi kolom) sudah harus disiapkan karena silica yang berbentuk serbuk, harus dilarutkan dulu dengan solvent di atas sampai berwujud gel. Gel inilah yang kemudian dituangkan ke dalam kolom. Proses ini dinamakan packing coloumn. Kolom yang baik adalah jika fase diamnya terbentuk secara rapat/ketat, dalam arti tidak ada rongga udara (bubble) atau strukturnya yang tidak rapuh, untuk itu sebelum sample ekstrak diaplikasikan, perlu dipastikan dulu kolom ter-packing dengan baik yaitu dengan mengelusikan eluent terlebih dahulu beberapa jam.

Sampel dihaluskan dengan menggunakan mortar.

Pada open column chromatography, sampel yang akan dielusikan (diiosolasi), berdasarkan fasenya dibedakan menjadi dua yaitu dry phase (fase solid/kering/serbuk) dan wet phase (liquid). Untuk kolom silica gel dan ODS biasanya dalam bentuk dry phase, sedangkan Sephadex dan Diaion menggunakan metode wet phase. Untuk kolom silica gel, ekstrak yang akan dielusi harus di-mix dengan silica gel. Tahap pertama, ekstrak dilarutkan terlebih dahulu dengan methanol dalam sebuah evaporating flask (gelas untuk evaporasi menggunakan rotary evaporator), kemudian ditambahkan silica gel secukupnya, diperkirakan seluruh ekstrak dapat ter-mix dengan sempurna (semakin kecil volume silica gel yang digunakan lebih baik, karena selain efisien juga tingkat presisi untuk isolasi lebih baik). Kemudian campuran larutan ekstrak dan silica gel tersebut dievaporasikan sampai terbentuk granul-granul, di mana ekstrak sudah terabsorbsi dalam silica gel. Granul ini harus dilembutkan menggunakan mortar sehingga diperoleh fase serbuk, yang kemudian baru bisa diaplikasikan dalam kolom kromatografi.

Open column chromatography dengan sampel siap dielusikan.

Pada aplikasi sampel ke dalam kolom, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain: (1) Volume eluent di atas fase diam disisakan seminimal mungkin, sekiranya seluruh sampel dapat terendam. Hal ini penting agar level isolasi presisi. (2) Jangan sampai sampel terlarut pada eluent yang posisinya berada di atasnya, diusahakan senyawa dalam sampel terelusi dengan baik mengikuti arah alir eluent dalam kolom. Jika hal ini terjadi, maka proses isolasi tidak akan berlangsung dengan baik. (3) Dijaga agar eluent tetap mengalir dengan flow rate yang rendah dengan tujuan sampel dapat terelusi ke bawah mengikuti aliran eluent dan mencegah sampel terlarut oleh eluent/solvent di bagian atasnya. (4) Aplikasi sampel dilakukan seperti menaburkan gula dalam minuman kopi, tetapi harus dilakukan dengan perlahan-lahan dan merata, agar sampel dapat terposisikan merata dengan struktur yang baik pada permukaan atas fase diam.

Koleksi fraksi dengan tabung reaksi.

Tahap selanjutnya adalah proses elusi. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah laju alir atau flow rate, kemudian volume koleksi, serta waktu kapan fraksi mulai dikoleksi. Flow rate yang terlalu rendah menyebabkan waktu isolasi terlalu panjang, sehingga tidak efisien, sedangkan jika terlalu cepat dikhawatirkan proses isolasi tidak berhasil, karena senyawa tidak terfraksinasi dengan baik. Penentuan volume koleksi fraksi juga ditentukan dengan memperhatikan efektifitas dan efisiensi proses, volume yang terlalu tinggi menyebabkan kehilangan kuantitas senyawa tunggal yang signifikan, karena terkontaminasi dengan senyawa lain pada fraksi sebelum atau sesudahnya. Volume yang terlalu rendah akan menyebabkan pengecekan keberadaan senyawa tunggal menggunakan TLC akan banyak dan merepotkan. Jika memang sampel dalam jumlah yang besar dan menggunakan kolom berdiameter lebar maka volume lebih tinggi dapat diaplikasikan, sedangkan jika sampel sangat sedikit dengan ukuran kolom yang kecil maka koleksi dalam volume yang rendah lebih disarankan. Koleksi dapat menggunakan tabung reaksi dengan berbagai ukuran, mulai dari 10 ml sampai 50 ml. Dapat juga dengan menggunakan alat auto sampler yang secara otomatis dapat mengoleksi fraksi.

Sementara penjelasan untuk open column chromatography dipotong sampai di sini dulu. Pembahasan selanjutnya diberikan pada artikel yang lain. Semoga bermanfaat….

Wonju, 3 Juni 2011

Chromatography

Kromatografi diambil dari bahasa Romawi, yaitu chroma (warna) dan graph (gambaran/pola). Dalam aplikasinya pada bidang fitokimia, secara sederhana kromatografi dapat didefinisikan sebagai sebuah metode pemisahan  atau lebih tepatnya pengurutan berdasarkan tingkat polaritas dari komponen-komponen yang pada awalnya terkumpul dalam suatu bahan alam, yang didasarkan oleh penampakan secara grafis pada sebuah media perambatan. Media perambatan di sini diartikan sebagai fase diam (stable phase), di mana komponen-komponen tadi akan terurut atau terposisikan secara berurutan pada media ini karena terbawa oleh adanya fase bergerak (mobile phase) yang berjalan dari ujung bawah/dasar menuju ujung atas dari fase diam yang disebabkan oleh adanya gaya kapilaritas.

Opened Column Chromatography

Kromatografi dapat diibaratkan sebagai sebuah proses seleksi, baik itu seleksi alam dalam kehidupan makhluk hidup di muka bumi, atau lebih sederhananya seperti seleksi masuk perguruan tinggi oleh calon-calon mahasiswa lulusan dari SMA atau SMK. Mereka akan masuk pada perguruan tinggi, fakultas, atau program studi yang disesuaikan dengan nilai SNMPTN-nya. Bagi yang mendapat nilai tinggi akan mendapatkan kesempatan untuk masuk pada perguruan tinggi atau program studi favorit sesuai dengan kapabilitasnya. Sedangkan bagi yang mendapatkan nilai rendah, tentunya akan tinggal pada perguruan tinggi atau program studi yang grade-nya lebih rendah, sesuai dengan kapabilitasnya. Walaupun penggambaran ini tidak seratus persen tepat, tapi cukup untuk menjelaskan dengan cara yang mudah mengenai kromatografi ini. Dalam hal ini, sekumpulan atau asosiasi perguruan tinggi negeri dapat dikatakan sebagai fase diam (stable phase), sedangkan untuk mobile phase-nya adalah proses SNMPTN itu sendiri, yang dimulai dari fase pendaftaran, ujian, sampai pengumuman. Sedangkan lulusan SMA/SMK diibaratkan sebagai komponen-komponen tunggalnya yang akan kita pisahkan sesuai dengan kapabilitasnya. Begitu fase pendaftaran SNMPTN dimulai, berarti proses kromatografi berjalan, sampai nanti pada fase pengumuman hasil. Setelah proses selesai maka akan tampak sebuah peta klasifikasi atau penempatan lulusan-lulusan SMA/SMK tadi (yang sekarang sudah menjadi mahasiswa) pada perguruan tinggi atau program studi sesuai dengan grade atau nilai SNMPTN yang mereka hasilkan.

Sekarang, dalam bidang fitokimia, terutama dalam proses pencarian komponen-komponen aktif yang akan digunakan untuk pengembangan obat, makanan fungsional, suplemen ataupun produk-produk kesehatan lainnya, komponen aktif yang dipilih bukan berarti yang paling tinggi posisinya, atau dalam proses SNMPTN tadi yang paling tinggi grade-nya, tetapi yang dicari adalah yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Misalkan sebagai antioksidan, anti-inflamasi, atau anti gastritis atau fungsi yang lainnya, maka bisa diambil atau diisolasi dari posisi mana saja, yang penting memiliki aktivitas biologis yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Jadi dalam contoh SNMPTN tadi, jika kita membutuhkan lulusan yang akan ditempatkan pada divisi marketing atau public relation (PR), maka yang kita butuhkan adalah lulusan yang supel, mudah bergaul, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, berpenampilan menarik, dan energik, maka menjadi tidak benar/cocok kalau mengambil lulusan dari fakultas kedokteran Universitas Indonesia misalnya, walaupun memiliki grade yang tinggi.

Mekanisme kromatografi didasarkan pada prinsip perbedaan polaritas, misalkan akan diurutkan atau dipisahkan komponen kimia dari yang paling polar sampai yang paling kurang polar. Perbedaan polaritas komponen kimia ini disebabkan oleh gugus fungsi yang dimilikinya. Sebagai contoh jika sebuah komponen memiliki gugus fungsi hidroksil (-OH) yang banyak, maka komponen itu akan cenderung bersifat polar. Sedangkan yang memiliki gugus metoksil (CHO), akan cenderung kea rah polaritas yang rendah karena adanya atom karbon.

Berdasarkan fase kepolaran kromatografi dibedakan menjadi dua teknik, yaitu fase normal (normal phase / NP) dan fase terbalik (reversed phase / RP). Kromatografi dengan teknik NP mengurutkan komponen dari yang paling polar ke yang paling kurang polar, sedangkan kebalikannya, teknik RP mengurutkan dari yang kurang polar ke yang paling polar. Masing-masing teknik dijalankan sesuai dengan kebutuhan riset dan sifat komponen yang akan diisolasi. Kedua teknik kromatografi tersebut berbeda pada jenis bahan atau material yang digunakan untuk fase diam (stable phase), dan tentunya pelarut (solvent) yang digunakan untuk fase bergerak (mobile phase). Pada teknik NP, fase diamnya menggunakan material yang bersifat polar, dalam hal ini biasanya mengaplikasikan silica gel (SiO2) dalam sebuah kolom, dengan berbagai ukuran diameter partikel (), sedangkan untuk fase bergeraknya digunakan kombinasi pelarut kloroform-metanol-air dengan berbagai perbandingan sesuai kebutuhan. Untuk teknik RP, fase diamnya menggunakan material yang bersifat nonpolar, misalnya ODS (Octadesylsilane), dan fase bergeraknya menggunakan kombinasi pelarut metanol-air.

TLC viewed under UV 254 nm

Mekanisme kromatografi sebenarnya sangat sederhana. Pada teknik NP, dengan fase diam yang bersifat polar, maka komponen-komponen kimia dengan polaritas tinggi berusaha secepat mungkin untuk menjauhi atau menghindari media polar tadi, dan cenderung mengikuti atau lebih suka ke fase bergeraknya (solvent/eluent– disebabkan adanya pelarut kloroform), sehingga komponen-komponen tersebut akan bergerak lebih cepat. Sedangkan komponen-komponen yang memiliki kepolaran rendah, cenderung menyukai fase diam dibanding fase bergerak, karena memiliki kepolaran yang serupa. Pada proses kromatografi, misalkan untuk proses isolasi, maka komponen-komponen dengan kepolaran rendah akan terelusi (keluar) lebih cepat dibandingkan komponen-komponen dengan kepolaran yang lebih tinggi. Hal sebaliknya terjadi untuk kromatografi dengan teknik RP, di mana komponen-komponen dengan polaritas lebih tinggi, misalkan komponen yang memiliki sakarida (glikon) yang terikat di salah satu gugusnya, maka akan terelusi lebih awal dibanding komponen yang sama tetapi tidak memiliki glikon, karena sakarida bersifat sangat polar.

Dalam penerapannya, banyak sekali teknik kromatografi yang ada saat ini, antara lain thin layer chromatography (TLC), open column liquid chromatography, medium pressure liquid chromatography (MPLC), high pressure liquid chromatography atau High Performance Liquid Chromatography (HPLC), dan juga GC (gas chromatography), di mana fase bergeraknya berupa gas iner (nitrogen atau karbondioksida). Selain itu penggunaannya juga sangat luas tidak terbatas pada bidang fitokimia tapi juga digunakan pada bidang fisika, analisis cemaran lingkungan dan lain-lain.

Wonju, 12 April 2011, 16:28

Thin Layer Chromatography – Kromatografi Lapis Tipis

Berdasarkan jenis kepolaran, Thin Layer Chromatography (TLC) system, atau disebut sebagai kromatografi lapis tipis dibedakan menjadi dua, yaitu normal phase (NP) dan reversed phase (RP). Dalam sebuah TLC sendiri ada dua komponen utama, yaitu fase diam (stable / immobilized phase) dan fase gerak (mobile phase) atau biasa disebut solvent/eluent. Pada jenis NP, untuk fase diam-nya digunakan bahan yang bersifat polar, pada umumnya menggunakan material silica gel (SiO2). Sedangkan pada jenis RP menggunakan material yang bersifat non polar, salah satunya adalah ODS (Octadecylsilane). Harga ODS sendiri jauh sangat mahal dibandingkan dengan harga silica gel, sehingga biaya TLC menggunakan sistem reversed phase membutuhkan biaya yang lebih tinggi.

Sebuah TLC dari sebuah Butanol ekstrak tanaman Lamiaceae

Material yang digunakan dalam fase gerak memiliki sifat yang berkebalikan dengan sifat material yang digunakan dalam fase diamnya. Kenapa demikian, hal ini berfungsi untuk mengetahui apakah nantinya komponen atau senyawa aktif yang diuji di atas TLC dapat diketahui dia lebih cenderung ‘menyukai’ fase diam atau fase geraknya. Kalau senyawa itu lebih menyukai fase diamnya, berarti dia tidak akan bergerak cepat mengikuti laju pergerakan solvent yang disebabkan oleh daya kapilaritas, sehingga titik henti atau retention time (Rf), berada pada nilai rendah (posisi bagian bawah dari TLC), biasanya memiliki nilai Rf antara 0.20 – 0.30. Sedangkan kalau senyawa itu cenderung menyukai solventnya, maka dia akan cepat bergerak mengikuti arus kapilaritas dari solvent tersebut, biasanya berada pada nilai Rf antara 0.75 – 0.90.
Dengan demikian. pada NP system, dimana digunakan bahan bersifat polar sebagai fase diamnya, maka untuk fase geraknya digunakan solvent yang memiliki kepolaran yang rendah. Pada umumnya digunakan campuran antara chloroform dan methanol dengan berbagai perbandingan dimana komponen chloroform diberikan porsi yang lebih besar sebagai contoh (CHCl3:MeOH=65:35, 70:30, 75:25 dsb). Sedangkan pada RP system solvent yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang tinggi, dalam hal ini campuran antara methanol dan air merupakan perpaduan yang sering digunakan dengan berbagai perbandingan misalnya MeOH:water= 30:40, 50:50, atau 30:20. Angka perbandingan ini disesuaikan dengan karakteristik senyawa yang sedang diuji. Berkaitan dengan perbandingan dari campuran solvent ini akan dibahas kemudian.

Normal Phase TLC using SiO2

Reversed phase TLC (ODS/Octadecylsilane)

Sekarang, bagaimana cara kerja dari kedua sistem TLC tersebut? Yang pertama untuk sistem NP, jika kita menguji kepolaran antara 3 jenis senyawa yang berbeda tingkat kepolarannya. Sebagai contoh, berturut-turut dari senyawa A, B dan C, memiliki tingkat polaritas dari yang tertinggi ke yang rendah. Maka ketika ketiga senyawa diuji pada NP TLC senyawa A akan berada pada posisi terbawah (Rf terkecil), C akan berada di posisi teratas (Rf tinggi), sedangkan B akan berada di posisi tengah antara A dan C. Hal ini terjadi karena A (polaritas tinggi) secara kimia akan cenderung menyukai fase diam daripada fase geraknya karena sama-sama bersifat polaritas tinggi sehingga ikatan kimianya lebih kuat. Dengan demikian si A ini lebih memilih diam bersama menempel fase diam daripada ikut bergerak ke atas bersama solvent. Sedangkan senyawa C dengan polaritas yang lebih rendah tentunya ikatan kimia dengan fase diam lebih rendah, sehingga dia mempunyai kecenderungan menyukai fase gerak, oleh karena itu dia akan bergerak mengikuti pergerakan solvent yang pada akhirnya akan berhenti pada posisi tertentu (Rf). Sudah bisa dipastikan bahwa senyawa B akan berada pada posisi tengah2 antara A dan C.
Prinsip yang sama juga terjadi pada sistem RP, hanya saja hasilnya akan berkebalikan dengan NP, dalam kasus di atas senyawa A akan berada pada posisi teratas dan C pada posisi terbawah. Hal ini bisa dipahami karena memang baik fase diam maupun fase gerak kedua sistem berlawanan sifatnya.
Prinsip kedua jenis TLC yang telah dijelaskan di atas juga digunakan untuk column chromatography (CC). Karena pada dasarnya antara TLC dan CC adalah sama secara sistem kerjanya, hanya berbeda dari segi skala atau volume yang digunakan, baik fase diam atau fase gerak yang digunakan maupun senyawa yang dielusikan ke dalamnya.
Kemudian berkaitan dengan perbandingan campuran solvent yang digunakan. Perbandingan yang dipakai didasarkan pada karakteristik senyawa yang diujikan. Yang pertama untuk aplikasi pada jenis NP, jika senyawa yang diujikan memiliki tingkat polaritas yang tinggi, maka dia akan berada pada posisi Rf yang sangat kecil, misalkan antara 0.01-0.20, hal ini nanti akan kurang jelas terlihat pada saat pengamatan hasil dan yang lebih penting lagi ketika diaplikasikan pada skala yang lebih besar dengan menggunakan column chromatography maka hal ini akan menyulitkan proses elusi. Untuk itu agar Rf berada pada rentang 0.40-0.60, maka tingkat polaritas solvent harus ditingkatkan, misalkan pada awalnya menggunakan (CHCl3:MeOH=70:30), maka bisa ditingkatkan konsentrasi methanolnya menjadi (CHCl3:MeOH=60:40 atau 65:35), tergantung hasil ujioba (trial and error). Dan sebaliknya jika Rf terlalu tinggi (0.75-0.90) maka dapat diturunkan dengan menurunkan konsentrasi dari MeOH (atau lebih tepatnya komponen solvent dengan polaritas yang lebih tinggi)
Hal serupa juga berlaku pada sistem RP, misalkan fase geraknya adalah campuran antara methanol dan air, maka untuk mempertinggi nilai Rf dilakukan dengan cara meningkatkan konsentrasi methanol. Sebaliknya untuk menurunkan nilai Rf dengan cara meningkatkan konsentrasi air dalam campuran fase geraknya. Perbandingan yang optimal hanya didapatkan dengan melakukan beberapa uji trial and error dengan berbagai perbandingan, dapat dimulai dari standar (MeOH:water=1:1). Dapat disimpulkan untuk penentuan formulasi optimal fase gerak, yang menjadi kunci adalah permainan konsentrasi methanol, baik untuk NP maupun RP. Khusus pada RP sendiri, peran methanol sebagai kunci karena dia memiliki boiling point atau titik didih yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga daya kapilaritasnya akan lebih tinggi dibandingkan air.
Demikian semoga bermanfaat..